Wednesday, December 24, 2014

Paus Fransiskus 'Damprat' Pejabat Gereja Katolik di Vatican

















Paus Fransiskus mendamprat pengurus Curia (lembaga yang mengurus administrasi Gereja Vatikan) dalam pesan awal Natal, Senin, 22 Desember 2014. Krtiik tajam terhadap Curia baru pertama kali disuarakan secara gamblang dan terbuka oleh Paus Fransiskus, paus non-Eropa pertama sejak 1.300 tahun lalu. Kepeduliannya pada sesama dan keprihatinan yang mendalam terhadap Vatikan membuatku kembali punya harapan tentang sosok pemimpin berkarakter seperti Paus Fransiskus.

Berikut tautan berita tentang Paus Fransiskus di berita online media asing.

http://www.washingtonpost.com/news/world/wp/2014/12/22/pope-francis-warns-vatican-leaders-against-spiritual-alzheimers/

http://www.washingtonpost.com/news/world/wp/2014/12/22/the-15-ailments-of-the-vatican-curia-according-to-pope-francis/

Catatan Natal 2014

Menyambut Natal 2014 penuh makna yang indah. Aku hanya mampu memanjatkan  ucapan syukur dan terimakasih kepada Sang Pencipta kehidupan. Terimakasih kusampaikan  kepada sahabatku yang mendukungku untuk meraih impian, kepada teman-teman yang menjadi inspirasi dan memperkaya wawasan dan pengetahuanku, kepada orang-orang yang telah kusakiti hatinya tanpa niat sengaja tapi semata-mata karena pekerjaan atau rasa sayangku, dan kepada orang-orang yang merancang kehancuran bagi hidupku namun membuatku bertambah tegar dan bersemangat  menjalani hidup. Terindah anugerah dari NYA adalah orang tua, saudara-saudaraku, dan lima keponakanku yang mengajarkanku tentang makna keluarga , saling berbagi, menolong, dan menyayangi tanpa pamrih. SELAMAT NATAL. Damai dan Kasih Natal menyertai kita selamanya. Amin.

Menikmati keindahan taman  Gyeongbokgung Palace, Seoul, Korea Selatan,
Minggu, 16 November 2014  (Foto: Maria Rita Hasugian)  





Saturday, April 26, 2014


Acara Pekan HAM Korea Utara untuk pertama kali diselenggarakan di Jakarta dari tanggal 28 April 2014 sampai 2 Mei 2014. Sejumlah acara akan mengisi kegiatan seperti yang tercantum dalam foto di atas.

Ide Pekan HAM Korea Utara muncul setelah saya mengikuti pameran foto jurnalistik  Greg Constantine yang memotret kehidupan etnis Rohingya. Etnis yang tidak diakui pemerintah dan mayoritas rakyat Myanmar sebagai warganya. Pameran  yang bertajuk  "Exiled to Nowhere Burma's Rohingya di Galeri Cemara 6, Jakarta, Jumat 13 Februari 2014 memunculkan ide baru bagiku.

Saya teringat tentang kehidupan jutaan warga Korea Utara dibawah rezim yang paling kejam di muka bumi ini. Saya tidak dapat mengerti sampai sekarang kenapa penguasa Korea Utara membunuhi rakyatnya dengan berbagai cara yang tidak masuk akal. Dendam apa yang membuat penguasa ini menyiksa dengan berbagai cara dan akhirnya membunuh rakyatnya sendiri? Sementara dunia seperti lumpuh tak berdaya menghadapi Korea Utara. Negara-negara Asean khususnya Indonesia yang dianggap sebagai pemimpin di kawasan Asean juga lebih memilih cara aman, abstain,dalam  pengambilan keputusan di Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Saat teman saya seorang diplomat Korea Selatan mengajak bertemu sekedar melepas penat di Jakarta, saya sampaikan ide saya kepadanya.  Saya tahu ini sulit untuk mewujudkan karena kami berdua tahu bagaimana posisi Indonesia dalam menyikapi isu Korea Utara. Sementara dia warga Korea Selatan dan saya warga Indonesia.

Entah apa yang ada di benaknya, ketika ia mengajak saya berpindah tempat usai makan malam dan dia memilih warung kopi Starbuck, dia mungkin memikirkan ide saya. Dan, sesaat dia bersemangat untuk mewujudkannya. "Saya mendukung kamu." Saya senang sekali mendengar ucapannya itu.

Ia membuktikannya. Dalam tempo singkat dari pertemuan kami Februari dan sekarang, terwujud. Senang bercampur galau. Saya hanya berdoa semoga acara Pekan HAM Korea Utara dari 28 April sampai 2 Mei 2014 berjalan baik dan berguna bagi sesama.




Monday, March 31, 2014


Komunitas warga Korea Selatan di Indonesia membacakan deklarasi yang ditujukan kepada Korea Utara di ruang perpustakaan Asosiasi Korea di Indonesia, Jakarta, Rabu, 26 Maret 2014

Sekitar 50 warga Korea Selatan yang tergabung dalam Komunitas warga  Korea Selatan  di Indonesia,memperingati empat tahun tenggelamnya kapal perang Cheonan yang menewaskan 46 dari 104 prajurit yang bertugas saat itu.

Peringatan yang diadakan di ruang perpustakaan Asosiasi Korea di Indonesia, Jakarta, Rabu, 26 Maret 2014 didahului dengan upacara penghormatan terhadap para korban yang tewas.Layaknya upacara resmi kenegaraan, mereka menyanyikan lagu kebangsaan, mengheningkan cipta, dan membacakan deklarasi Komunitas Masyarakat Korea di Indonesia.

Mereka kemudian menyaksikan pemutaran film tentang peristiwa Cheonan yang berdurasi sekitar 20 menit. Film itu menjelaskan tentang kronologi penyerbuan mendadak pasukan Korea Utara ke arah kapal perang Cheonan, kesaksian sejumlah orang termasuk keluarga para korban.

Komunitas Warga Korea Selatan di Indonesia dalam deklarasinya, menuntut Korea Utara meminta maaf kepada keluarga korban dan segera menghentikan tindakan-tindakan provokasi di Semenanjung Korea. Mereka juga mengingatkan Korea Utara untuk segera memperbaiki kondisi hak asasi manusia warga Korea Utara.

Serangan terhadap kapal perang Cheonan yang berbobot 1.200 ton terjadi pada malam hari,  26 Maret 2010. The Telegraph menyebutkan, satu tim khusus Korea Utara telah dibentuk untuk melakukan aksi bunuh diri dengan menggunakan kapal selam untuk menyerang Cheonan. Diduga  penyerangan itu atas perintah  pemimpin Korea Utara, Kim Jong-il.

Penyerangan terjadi sehari setelah penangkapan dua mata-mata Korea Utara yang berusaha membelot ke Korea Selatan. Keduanya dituduh mendalangi pembunuhan Hwang Jang-yop, pejabat top partai berkuasa yakni, Partai Pekerja Korea Utara.
Tenggelamnya Cheonan di laut Kuning pada 26 Maret 2010 disebut sebagai peristiwa paling mematikan setelah Perang Korea  pada tahun 1953.

Korea Selatan yang memimpin investigasi internasional  menyimpulkan serangan torpedo Korea Utara sebagai penyebab tenggelamnya Cheonan. Namun, Pyongyang berkukuh tidak mengakuinya.

Ketua Asosiasi Warga Korea di Indonesia, Shin Kee-Yup mengatakan Korea Selatan memperingati tenggelamnya Cheonan setiap tanggal 26 Maret.Sampai saat ini, ujarnya, Korea Utara belum menyatakan maaf kepada keluarga korban. "Bahkan Korea Utara tidak mengakui sebagai pelaku," kata Shin, 65 tahun, menggunakan  bahasa Indonesia yang lancar kepada wartawan.

Menurut Shin, sulit mengharapkan adanya pembaruan kebijakan di Korea Utara di masa pemerintahan Kim Jong-un. Kim, tak ubah dengan ayahnya, Kim Jong-Il yang menutup pintu bagi bersatunya dua Korea.

Meski situasinya berat, namun menurut Shin, warga Korea Selatan tetap optimistis yang ditandai dengan terus membantu warga Korea Utara  meningkatkan kemampuan ekonominya diantaranya dengan pembentukan kawasan industri Kaesong di wilayah Korea Utara.


THE TELEGRAPH | KOREA TIMES | MARIA RITA HASUGIAN







Penyair Korea Selatan, Jeonghye Choi, membacakan karyanya dalam sesi diksusi Women and Literary di Asean Literary Festival 2014 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 23 Maret 2014.
Demam genre musik asal Korea Selatan, K-Pop, di kalangan muda di berbagai negara tidak membuat Jeonghye Choi, 59 tahun,  penyair dan pengajar sastra modern di  Korea University, patah hati. Menurut dia, penggemar puisi merupakan kaum minoritas di Korea Selatan. Namun Choi tetap semangat karena setidaknya ia masih memiliki siswa yang berminat pada bidang sastra, khususnya puisi.

Terbang dari Seoul ke Jakarta untuk berbicara dalam diskusi "Women and Literature" di ASEAN Literary Festival yang digelar 21-23 Maret 2014, Choi mengaku kagum atas soliditas perempuan di Indonesia. Hal yang jarang ditemukan di negaranya.

"Perempuan di negara saya jarang sekali berkumpul seperti di sini. Mereka sangat ambisius, kehidupannya individualis. Ini terjadi karena persaingan hidup yang berat," kata Choi kepada Tempo, Minggu, 23 Maret 2014. Berikut ini petikan wawancara dengan penulis tujuh buku yang memuat puisi karyanya dan meraih sejumlah penghargaan nasional dan internasional tersebut.

Monday, March 10, 2014

Nikmatnya Teh di Swat Valley


Awal Januari 2013, saya mendapat undangan dari pemerintah Pakistan untuk melakukan perjalanan jurnalistik. Sempat ragu-ragu apakah kami akan berangkat karena situasi keamanan atau ada hal lain? Akhir Januari, kepastian itu datang. Saya pun berangkat ke Pakistan bersama lima jurnalis Indonesia lainnya dan seorang penulis buku dan artikel di media. Selama delapan hari kami mengunjungi beberapa tempat yang menarik di Pakistan. Saya tertantang mengeksplorasi Pakistan yang sedang menghadapi masalah keamanan dan guncangan politik menjelang pemilihan umum untuk memilih pemerintahan baru di negara berpenduduk sekitar 170 juta jiwa itu.

Para penjaga keamanan, baik militer maupun polisi, berjaga-jaga di setiap sudut kota dan tempat-tempat publik di Islamabad, ibu kota Pakistan. Bahkan di hotel tempat saya menginap bersama teman-teman jurnalis lainnya, dua militer berjaga-jaga di pintu masuk hotel. Mereka pulalah yang membukakan pintu hotel untuk setiap tamu hotel yang datang ! Ini pengalaman pertamaku sejak bepergian melakukan tugas jurnalistik maupun sekadar berlibur ke luar negeri.

Tentu saja saya merasa tidak nyaman untuk berjalan-jalan di kota Islamabad karena kemana saja kami pergi, petugas keamanan mengikuti kami. Ya, saya paham, kami ini jurnalis Indonesia yang diundang resmi oleh pemerintah Pakistan. Mereka bertanggung jawab atas keselamatan jiwa kami. Jadilah kami seperti pejabat penting yang dikawal ke manapun kami pergi didampingi seorang liason officer Mr. Qamar. Pengalaman ini saya tuangkan dalam laporan jurnalistik saya di harian Koran Tempo yang terbit pada 2 Februari 2013.


Salju di puncak pegunungan  yang membentengi Distrik Swat Valley, Provinsi Khyber Pakhtunkhwa, Pakistan, pertengahan pekan lalu, tampak berkilauan diterpa sinar matahari pagi. Angin musim dingin berembus membuat tubuh menggigil. Burung-burung gagak beterbangan di antara ranting-ranting pohon yang daunnya berguguran di tanah.

Thursday, February 27, 2014

Aung San Suu Kyi: All political prisoners must be released


THE male voice on the other side of the telephone two weeks ago brought good news: Tempo’s request to interview Burma’s pro-democracy leader, Aung San Suu Kyi, got the green light. “But I remind you, everything is uncertain here. So come and take your chances,” said the voice of a member of the National League for Democracy (NLD), the political party led by Suu Kyi.