Monday, September 10, 2012

Kim Hye-sook, Perjuangan Pembelot Korea Utara


Kim Hye-sook, Perjuangan Pembelot Korea Utara (3)
Hye Sook Kim. TEMPO/Dasril Roszandi

Senin hari ini, 10 September 2012, adalah peringatan 64 tahun berdirinya Korea Utara. Sejak Perang Dunia II berakhir, Korea memang terbelah menjadi dua wilayah yang masing-masing dikuasai Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Kini, upaya untuk menyatukan kedua saudara yang terpisah ini terus terjadi. Membelotnya ratusan, mungkin ribuan, orang Korea Utara ke Korea Selatan jadi salah satu pemicunya. Kisah Kim Hye-sook ini adalah salah satu contoh bagaimana penduduk di kedua Korea sebenarnya sudah lama ingin bersatu. Berikut ini petikan wawancara Maria Rita Hasugian dari Tempo dengan Kim ketika perempuan tangguh 49 tahun ini berkunjung ke Jakarta, Agustus lalu.

Anda melakukan perjalanan ke sejumlah negara, menyampaikan kekejaman Korea Utara yang Anda alami sendiri. Apa yang ingin Anda capai?

Saya merasa aktivitas saya ini membantu mendukung penduduk Korea Utara. Tempat saya ditahan di Korea Utara, Kamp No. 19 dan No. 16 sekarang sudah ditutup. Tahanan di sana sekarang diurus oleh satu lembaga yang mengurus tahanan politik di Korea Utara. Jadi, saya pikir, kegiatan saya dan yang lainnya memberi dampak kepada Korea Utara.

Anda pernah diancam?

Tahun lalu, saya mendapat SMS di telepon seluler saya. Isinya, “Jika kamu mau tetap hidup, kamu harus tutup mulut.” Saya sudah laporkan pada polisi, tapi sampai sekarang tidak jelas siapa pengirimnya. Saya menduga SMS itu datang dari otoritas Korea Utara. Tapi kami tidak tahu pasti.

Apa aktivitas Anda sehari-hari di Korea Selatan?

Waktu masih di Korea Utara, saya bekerja sebagai pekerja tambang selama hampir 15 tahun. Akibatnya, sekarang saya terkena sakit paru-paru. Sejak dirawat di rumah sakit dua tahun lalu, saya dilarang dokter bekerja keras. Jadi saya melukis dan menulis pengalaman hidup saya di Korea Utara. Buku saya tentang Korea Utara berjudul Prison Camp Drown by Tear sudah terbit.

Apa harapan Anda untuk pemerintah Korea Utara?
Saya percaya, suatu saat, dua Korea akan bersatu. Saya yakin tata kehidupan di Korea Utara tidak bisa dilanjutkan. Ketika saya masih di Korea Utara, ada banyak propaganda soal Korea Selatan yang disebut-sebut sebagai negara kapitalis, tapi ketika saya sampai di sana, saya menemukan sebuah negeri yang sangat baik untuk hidup.

Apakah reunifikasi ini mungkin terjadi?

Saat ini, ada demam budaya Korea Selatan di Korea Utara. Banyak orang Korea Utara menonton film drama Korea Selatan, mendengar lagu-lagu pop Korea Selatan atau K-Pop. Jadi mereka sekarang tahu lagu-lagu Korea Selatan dan menontonnya. Dengan begitu, saya yakin, mereka sekarang penuh hasrat untuk lebih tahu lagi soal budaya Korea Selatan. Jadi saya pikir unifikasi pasti terjadi. Tapi kapan, saya tidak tahu.

Anda masih punya kerabat di Korea Utara?

Dua anak saya masih tinggal di sana. Juga tiga saudara saya. Dua saudara perempuan saya dan satu saudara laki-laki saya sama-sama ditahan di Kamp No. 18. Sudah lebih dari 40 tahun mereka ditahan di sana.

Bagaimana Anda berkomunikasi dengan keluarga di Korea Utara?
Di perbatasan Korea Utara, ada banyak makelar dari Cina. Caranya mudah: saya cukup membeli telepon seluler dan memberikannya kepada para makelar. Mereka akan membawa telepon seluler itu ke Korea Utara dan menyampaikannya pada keluarga saya di sana. Saya terakhir bicara dengan keluarga saya pada 2008. Sejak itu, saya tidak bisa lagi menghubungi mereka. 
Bagaimana ceritanya Anda bisa ditahan di kamp tahanan Korea Utara?
Pada 1970, ketika saya masih hidup di Pyongyang, orang tua saya dibawa ke kamp tahanan politik (selanjutnya disebut Gwalliso) dengan alasan yang tidak saya ketahui. Lima tahun kemudian, ketika saya berusia 13 tahun, saya juga dibawa dari rumah nenek saya ke Gwalliso Nomor 18 di Provinsi Pyongyang Selatan. Saya ditahan di sana selama 28 tahun.

Apa yang terjadi ketika Anda tiba di Kamp?
Bibi saya yang mengantarkan saya ke Gwalliso No. 18. Di sana, saya menunggu selama 16 jam di depan Gwalliso sampai ibu saya diizinkan keluar menemui saya. Sudah lima tahun saya tidak melihatnya. Ketika ibu muncul, saya hampir tidak mengenalinya. Dia tampak sangat letih dan lemah. Waktu itu, saya baru tahu bahwa ayah saya sudah meninggal dunia.

Ibu mempersiapkan apa ketika Anda datang ke kamp?
Meski di kamp, ibu saya menyiapkan makan malam khusus untuk kedatangan saya. Ada beberapa bahan makanan yang belum pernah saya lihat sebelumnya, seperti dedaunan liar, rumput, dan segenggam penuh tepung jagung. Saya sangat kelaparan setelah perjalanan yang panjang, tetapi makanan yang disajikan terasa pahit. Kami biasa makan nasi dan tepung di Pyongyang, jadi makanan pahit itu melukai tenggorokan saya.

Apa kegiatan Anda dan keluarga di kamp?
Ibu saya bekerja di pertanian. Tahanan lain bekerja di tambang atau jadi pemotong kayu. Kami semua menerima jatah ransum 15 hari per bulan. Ransumnya berupa jagung kering, 4 sampai 4,5 kilogram saja. Sangat sedikit untuk makan, bahkan sekali sehari. Jadi, kami makan jagung selama 15 hari, selebihnya mencari apa adanya. Kami jadi lemas, bahkan tidak bisa berjalan keliling kamp. Anak-anak kecil usia 9 tahun tubuhnya kecil, seperti anak 5 tahun di negara lain.

Apa yang terjadi kemudian?
Pada Mei 1979, ibu saya meninggal karena terjatuh di tebing. Saya akhirnya menerima tanggung jawab untuk merawat keluarga. Akhirnya, saya bekerja di tambang supaya keluarga kami tetap mendapat jatah ransum. Tak lama, nenek saya juga meninggal, dan orang-orang mulai mencari barang-barang kami.

Tidak ada cukup keamanan untuk pekerja tambang?
Pertambangan di sana dibangun seadanya dan sangat berbahaya. Adik laki-laki saya tewas juga di tambang ketika dia berusia 21 tahun. Kecelakaan tambang sangat sering terjadi, tapi aparat jarang sekali memperhatikan. Jasad adik laki-laki saya sampai sekarang tidak bisa ditemukan.






No comments: