Monday, March 10, 2014

Nikmatnya Teh di Swat Valley


Awal Januari 2013, saya mendapat undangan dari pemerintah Pakistan untuk melakukan perjalanan jurnalistik. Sempat ragu-ragu apakah kami akan berangkat karena situasi keamanan atau ada hal lain? Akhir Januari, kepastian itu datang. Saya pun berangkat ke Pakistan bersama lima jurnalis Indonesia lainnya dan seorang penulis buku dan artikel di media. Selama delapan hari kami mengunjungi beberapa tempat yang menarik di Pakistan. Saya tertantang mengeksplorasi Pakistan yang sedang menghadapi masalah keamanan dan guncangan politik menjelang pemilihan umum untuk memilih pemerintahan baru di negara berpenduduk sekitar 170 juta jiwa itu.

Para penjaga keamanan, baik militer maupun polisi, berjaga-jaga di setiap sudut kota dan tempat-tempat publik di Islamabad, ibu kota Pakistan. Bahkan di hotel tempat saya menginap bersama teman-teman jurnalis lainnya, dua militer berjaga-jaga di pintu masuk hotel. Mereka pulalah yang membukakan pintu hotel untuk setiap tamu hotel yang datang ! Ini pengalaman pertamaku sejak bepergian melakukan tugas jurnalistik maupun sekadar berlibur ke luar negeri.

Tentu saja saya merasa tidak nyaman untuk berjalan-jalan di kota Islamabad karena kemana saja kami pergi, petugas keamanan mengikuti kami. Ya, saya paham, kami ini jurnalis Indonesia yang diundang resmi oleh pemerintah Pakistan. Mereka bertanggung jawab atas keselamatan jiwa kami. Jadilah kami seperti pejabat penting yang dikawal ke manapun kami pergi didampingi seorang liason officer Mr. Qamar. Pengalaman ini saya tuangkan dalam laporan jurnalistik saya di harian Koran Tempo yang terbit pada 2 Februari 2013.


Salju di puncak pegunungan  yang membentengi Distrik Swat Valley, Provinsi Khyber Pakhtunkhwa, Pakistan, pertengahan pekan lalu, tampak berkilauan diterpa sinar matahari pagi. Angin musim dingin berembus membuat tubuh menggigil. Burung-burung gagak beterbangan di antara ranting-ranting pohon yang daunnya berguguran di tanah.

Saya menyusuri jalan yang mulai ramai dilintasi kendaraan umum di kota yang terletak sekitar 160 kilometer dari Islamabad, ibu kota Pakistan. Beberapa pria dengan kain panjang menutupi kepala dan wajah berjalan cepat. “Assalamualaikum,” begitu ia menyapa saat kami berpapasan. Senyum ramah mereka melegakan hati. Toko-toko masih tutup. Namun beberapa warung teh sudah dipenuhi pembeli. Mereka duduk santai menikmati teh khas Pakistan, rasanya mirip-mirip teh tarik. Roti Naan, penganan berbentuk roti
bundar tipis dan renyah, ditaruh di atas nampan plastik warna warni.Minum teh dan makan roti menjadi santapan hari-hari penduduk di kota ini saat sarapan.

Dari pintu gerbang sebuah rumah,seorang pria uzur berjalan menuju jalan raya. Ia mendekati Tempo dan dua jurnalis asal Indonesia. Seraya tersenyum, ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.Berbahasa Pashtun, bahasa mayoritas pendudukan Swat Valley, ia menanyakan keberadaan kami.“Cei, cei,” ujarnya sembari menawarkan kami minum teh.Pria itu mengajak kami menyeberang jalan menuju warung teh. Ia merogoh saku dan menyerahkannya kepada pemilik warung. Sembari tersenyum dan melambaikan tangan, ia meninggalkan kami yang sedang menyeruput teh.Semakin siang, semakin banyak saja orang yang hilir mudik dengan berjalan kaki ataupun menggunakan kendaraan. Namun hampir tidak ada perempuan, tua ataupun muda, melintas di jalan. 

Semua aktivitas dilakukan oleh pria. Di perempatan jalan, beberapa polisi berjaga-jaga seraya sesekali mengatur kendaraan umum yang lalu lalang di jalanan. Beberapa saat menikmati pagi di jalanan Distrik Swat Valley berangsur-angsur melenyapkan rasa waswas. Keramahtamahan penduduknya membuat kota yang dijuluki Swiss dari Pakistan itu sempat lenyap sejak milisi Taliban menguasai kawasan itu sekitar 10 tahun lamanya. Kedekatan sejarah, wilayah, budaya, dan etnis menjadikan Taliban berkukuh menguasai wilayah dengan luas 5.337 kilometer persegi itu.

Di bawah kekuasaan Taliban,kehidupan masyarakat berjalan dalam keterbatasan. Musik dan tarian dilarang, perempuan sama sekali tak boleh beraktivitas, termasuk mengenyam pendidikan, dan Taliban menjalankan syariat Islam dengan ketat.Yang paling menakutkan adalah Taliban kerap melakukan eksekusi mati di depan umum. Selama pemerintahan mereka, sekitar 1.200 orang tewas. Jumlah ini belum termasuk mereka yang hilang diculik.Sebagai balasan, pemerintah Pakistan melancarkan Operasi Rahe-Raast pada April 2009. 

Selama tiga bulan operasi, mereka berhasil memukul mundur Taliban dari Swat Valley. Lebih dari 3.000 anggota Taliban tewas. Ratusan warga Swat Valley yang terpaksa menjadi pendukung Taliban menyerah dan mengikuti program deradikalisasi selama tiga bulan untuk kemudian kembali bergabung dengan keluarga dan masyarakat.

Taliban memang tak sepenuhnya tersingkir dari Swat Valley. Anggota parlemen, Sher Shan Khan, mengatakan Taliban masih kerap menggunakan taktik hit-and-run. Namun peristiwa penembakan MalalaYousufzai, 14 tahun, pada Oktober tahun lalu, menjadi tonggak pemersatu warga Swat Valley menentang Taliban. Dukungan dunia mengalir kepada Malala, pelajar yang mengkritik Taliban—dan penduduk setempat untuk menolak aksi teror Taliban.“Kami sekarang benar-benar bebas dari rasa takut. Dulu tidak mudah bagi kami meliput peristiwa dan memberitakannya. Mereka, Taliban, mengancam kami untuk memberitakan atau tidak memberitakan. Ini dilema kami saat itu,” kata Fazal Khaliq, jurnalis The Express Tribune, yang sehari-hari menjalankan tugas jurnalistik di Swat Valley.

Selama Taliban mengendalikan Swat Valley, ujar Fazal, sebanyak empat jurnalis tewas dibunuh dan 10 jurnalis lainnya menjadi korban penculikan. Setelah Taliban mundur dari Swat Valley dan menyingkir ke Afganistan, ada enam surat kabar lokal yang setiap hari terbit di provinsi berpenduduk sekitar1,8 juta jiwa itu. Selain itu, hanya ada satu stasiun radio. Rencananya,segera hadir televisi lokal berbahasa Inggris.

Meski demikian, Swat Valley belum sepenuhnya pulih. Tempat -tempat pemeriksaan (check point) yang diadakan oleh gabungan polisi dan tentara masih berdiri di beberapa ruas jalan masuk ataupun keluar dari kota itu. Divisi 19 angkatan bersenjata Pakistan mengendalikan keamanan di Swat. Komandan Divisi 19, Mayor Jenderal Ghulam Qamar, menjelaskan,transfer pengendalian keamanan ke sipil segera dilakukan meski ia belum dapat memastikan waktunya. Namun ia menjamin situasi di Swat sudah bersih dari milisi Taliban. “Tidak ada peluang milisi kembali lagi di Swat. Karena rakyat di sini sepakat menolak mereka,”ujar Ghulam. 

Matahari sudah beranjak tinggi.Ruas jalan di dekat pasar tradisional di Kota Swat kian ramai dipenuhi warga yang ingin berbelanja kebutuhan sehari-hari. Busbus membawa penumpang menerobos kerumunan orang sehingga membuat jalanan tersendat sesaat. Geliat kehidupan kembali bersinar di Swat Valley.  (MARIA RITA HASUGIAN , SWAT)

Ini hasil liputan di Surat kabar dan Majalah Tempo.




























No comments: