Awal Januari 2013, saya mendapat undangan dari pemerintah Pakistan untuk melakukan perjalanan jurnalistik. Sempat ragu-ragu apakah kami akan berangkat karena situasi keamanan atau ada hal lain? Akhir Januari, kepastian itu datang. Saya pun berangkat ke Pakistan bersama lima jurnalis Indonesia lainnya dan seorang penulis buku dan artikel di media. Selama delapan hari kami mengunjungi beberapa tempat yang menarik di Pakistan. Saya tertantang mengeksplorasi Pakistan yang sedang menghadapi masalah keamanan dan guncangan politik menjelang pemilihan umum untuk memilih pemerintahan baru di negara berpenduduk sekitar 170 juta jiwa itu.
Para penjaga keamanan, baik militer maupun polisi, berjaga-jaga di setiap sudut kota dan tempat-tempat publik di Islamabad, ibu kota Pakistan. Bahkan di hotel tempat saya menginap bersama teman-teman jurnalis lainnya, dua militer berjaga-jaga di pintu masuk hotel. Mereka pulalah yang membukakan pintu hotel untuk setiap tamu hotel yang datang ! Ini pengalaman pertamaku sejak bepergian melakukan tugas jurnalistik maupun sekadar berlibur ke luar negeri.
Tentu saja saya merasa tidak nyaman untuk berjalan-jalan di kota Islamabad karena kemana saja kami pergi, petugas keamanan mengikuti kami. Ya, saya paham, kami ini jurnalis Indonesia yang diundang resmi oleh pemerintah Pakistan. Mereka bertanggung jawab atas keselamatan jiwa kami. Jadilah kami seperti pejabat penting yang dikawal ke manapun kami pergi didampingi seorang liason officer Mr. Qamar. Pengalaman ini saya tuangkan dalam laporan jurnalistik saya di harian Koran Tempo yang terbit pada 2 Februari 2013.
Salju di puncak pegunungan yang membentengi Distrik Swat Valley, Provinsi Khyber Pakhtunkhwa, Pakistan, pertengahan pekan lalu, tampak berkilauan diterpa sinar matahari pagi. Angin musim dingin berembus membuat tubuh menggigil. Burung-burung gagak beterbangan di antara ranting-ranting pohon yang daunnya berguguran di tanah.
Saya
menyusuri jalan yang mulai ramai dilintasi kendaraan umum di kota yang
terletak sekitar 160 kilometer dari Islamabad, ibu kota Pakistan.
Beberapa pria dengan kain panjang menutupi kepala dan wajah berjalan
cepat. “Assalamualaikum,” begitu ia menyapa saat kami berpapasan. Senyum
ramah mereka melegakan hati. Toko-toko masih tutup. Namun beberapa
warung teh sudah dipenuhi pembeli. Mereka duduk santai menikmati teh
khas Pakistan, rasanya mirip-mirip teh tarik. Roti Naan, penganan
berbentuk roti
bundar
tipis dan renyah, ditaruh di atas nampan plastik warna warni.Minum teh
dan makan roti menjadi santapan hari-hari penduduk di kota ini saat
sarapan.
Dari
pintu gerbang sebuah rumah,seorang pria uzur berjalan menuju jalan
raya. Ia mendekati Tempo dan dua jurnalis asal Indonesia. Seraya
tersenyum, ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.Berbahasa
Pashtun, bahasa mayoritas pendudukan Swat Valley, ia menanyakan
keberadaan kami.“Cei, cei,” ujarnya sembari menawarkan kami minum
teh.Pria itu mengajak kami menyeberang jalan menuju warung teh. Ia
merogoh saku dan menyerahkannya kepada pemilik warung. Sembari tersenyum
dan melambaikan tangan, ia meninggalkan kami yang sedang menyeruput
teh.Semakin siang, semakin banyak saja orang yang hilir mudik dengan
berjalan kaki ataupun menggunakan kendaraan. Namun hampir tidak ada
perempuan, tua ataupun muda, melintas di jalan.
Semua
aktivitas dilakukan oleh pria. Di perempatan jalan, beberapa polisi
berjaga-jaga seraya sesekali mengatur kendaraan umum yang lalu lalang di
jalanan. Beberapa saat menikmati pagi di jalanan Distrik Swat Valley
berangsur-angsur melenyapkan rasa waswas. Keramahtamahan penduduknya
membuat kota yang dijuluki Swiss dari Pakistan itu sempat lenyap sejak
milisi Taliban menguasai kawasan itu sekitar 10 tahun lamanya. Kedekatan
sejarah, wilayah, budaya, dan etnis menjadikan Taliban berkukuh
menguasai wilayah dengan luas 5.337 kilometer persegi itu.
Di
bawah kekuasaan Taliban,kehidupan masyarakat berjalan dalam
keterbatasan. Musik dan tarian dilarang, perempuan sama sekali tak boleh
beraktivitas, termasuk mengenyam pendidikan, dan Taliban menjalankan
syariat Islam dengan ketat.Yang paling menakutkan adalah Taliban kerap
melakukan eksekusi mati di depan umum. Selama pemerintahan mereka,
sekitar 1.200 orang tewas. Jumlah ini belum termasuk mereka yang hilang
diculik.Sebagai balasan, pemerintah Pakistan melancarkan Operasi
Rahe-Raast pada April 2009.
Selama
tiga bulan operasi, mereka berhasil memukul mundur Taliban dari Swat
Valley. Lebih dari 3.000 anggota Taliban tewas. Ratusan warga Swat
Valley yang terpaksa menjadi pendukung Taliban menyerah dan mengikuti
program deradikalisasi selama tiga bulan untuk kemudian kembali
bergabung dengan keluarga dan masyarakat.
Taliban
memang tak sepenuhnya tersingkir dari Swat Valley. Anggota parlemen,
Sher Shan Khan, mengatakan Taliban masih kerap menggunakan taktik
hit-and-run. Namun peristiwa penembakan MalalaYousufzai, 14 tahun, pada
Oktober tahun lalu, menjadi tonggak pemersatu warga Swat Valley
menentang Taliban. Dukungan dunia mengalir kepada Malala, pelajar yang
mengkritik Taliban—dan penduduk setempat untuk menolak aksi teror
Taliban.“Kami sekarang benar-benar bebas dari rasa takut. Dulu tidak
mudah bagi kami meliput peristiwa dan memberitakannya. Mereka, Taliban,
mengancam kami untuk memberitakan atau tidak memberitakan. Ini dilema
kami saat itu,” kata Fazal Khaliq, jurnalis The Express Tribune, yang
sehari-hari menjalankan tugas jurnalistik di Swat Valley.
Selama
Taliban mengendalikan Swat Valley, ujar Fazal, sebanyak empat jurnalis
tewas dibunuh dan 10 jurnalis lainnya menjadi korban penculikan. Setelah
Taliban mundur dari Swat Valley dan menyingkir ke Afganistan, ada enam
surat kabar lokal yang setiap hari terbit di provinsi berpenduduk
sekitar1,8 juta jiwa itu. Selain itu, hanya ada satu stasiun radio.
Rencananya,segera hadir televisi lokal berbahasa Inggris.
Meski
demikian, Swat Valley belum sepenuhnya pulih. Tempat -tempat
pemeriksaan (check point) yang diadakan oleh gabungan polisi dan tentara
masih berdiri di beberapa ruas jalan masuk ataupun keluar dari kota
itu. Divisi 19 angkatan bersenjata Pakistan mengendalikan keamanan di
Swat. Komandan Divisi 19, Mayor Jenderal Ghulam Qamar,
menjelaskan,transfer pengendalian keamanan ke sipil segera dilakukan
meski ia belum dapat memastikan waktunya. Namun ia menjamin situasi di
Swat sudah bersih dari milisi Taliban. “Tidak ada peluang milisi kembali
lagi di Swat. Karena rakyat di sini sepakat menolak mereka,”ujar
Ghulam.
Matahari
sudah beranjak tinggi.Ruas jalan di dekat pasar tradisional di Kota
Swat kian ramai dipenuhi warga yang ingin berbelanja kebutuhan
sehari-hari. Busbus membawa penumpang menerobos kerumunan orang sehingga
membuat jalanan tersendat sesaat. Geliat kehidupan kembali bersinar di
Swat Valley. (MARIA RITA HASUGIAN , SWAT)
No comments:
Post a Comment