Monday, March 31, 2014


Penyair Korea Selatan, Jeonghye Choi, membacakan karyanya dalam sesi diksusi Women and Literary di Asean Literary Festival 2014 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 23 Maret 2014.
Demam genre musik asal Korea Selatan, K-Pop, di kalangan muda di berbagai negara tidak membuat Jeonghye Choi, 59 tahun,  penyair dan pengajar sastra modern di  Korea University, patah hati. Menurut dia, penggemar puisi merupakan kaum minoritas di Korea Selatan. Namun Choi tetap semangat karena setidaknya ia masih memiliki siswa yang berminat pada bidang sastra, khususnya puisi.

Terbang dari Seoul ke Jakarta untuk berbicara dalam diskusi "Women and Literature" di ASEAN Literary Festival yang digelar 21-23 Maret 2014, Choi mengaku kagum atas soliditas perempuan di Indonesia. Hal yang jarang ditemukan di negaranya.

"Perempuan di negara saya jarang sekali berkumpul seperti di sini. Mereka sangat ambisius, kehidupannya individualis. Ini terjadi karena persaingan hidup yang berat," kata Choi kepada Tempo, Minggu, 23 Maret 2014. Berikut ini petikan wawancara dengan penulis tujuh buku yang memuat puisi karyanya dan meraih sejumlah penghargaan nasional dan internasional tersebut.

Bagaimana awalnya Anda tertarik menulis puisi?
Saya awalnya tidak tertarik menulis puisi. Saat itu usia saya 28 tahun. Saya baru saja melahirkan bayi pertama kami. Saya juga belum bisa bekerja dan bersamaan itu suami saya sakit parah. Suami saya lalu berhenti bekerja. Kehidupan saya saat itu tidak bahagia. Lalu saya menorehkan pengalaman dengan menulis puisi. Dan sejak itu saya berusaha mulai menulis puisi dengan serius.

Apa saja yang Anda tulis?
Kehidupan saya sehari-hari. Saya menulis segala hal, tentang ekonomi, politik, diri saya sendiri, mimpi-mimpi saya.

Anda masih mengingat puisi yang pertama kali Anda tulis?
(Tersenyum dan bergegas mengambil sebuah buku dari dalam tasnya. Buku itu berwarna merah  marun dengan judul Instance). Dalam buku ini saya mencantumkan puisi pertama saya berjudul Mirror, Mirror, and Mirror in the Mirror. Buku ini sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris. Saya ikut membantu penerjemahannya. Untuk itu saya tinggal setahun di Iowa, Amerika Serikat, untuk  membantu penerjemahannya.   
Apakah karya sastra yang ditulis oleh penyair di negara Anda mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah di negara Anda?
Pada tahun 1980-an ada demonstrasi besar (Gwangju uprising atau gerakan demokrasi di Gwangju melawan rezim militer Chun Doo-hwan). Para penyair ketakutan dan sengsara hidupnya. Sekarang para penyair tidak punya power lagi. Begini, kekuatan politik adalah sebuah kekuatan. Menulis juga memiliki power. Namun saat ini uang yang berkuasa. Menjadi penulis tidak ada artinya di masyarakat yang dikuasai oleh uang. Jadi, sebagai penulis atau penyair, bukan lagi isu yang penting seperti dulu.

Bagaimana dengan profesi jurnalis di Korea Selatan?
Jurnalis memiliki pengaruh, power, karena mereka berperan membentuk komunikasi massa.

Berapa banyak penyair dan penulis sastra perempuan di Korea Selatan?
Ribuan orang jumlahnya.

Mereka hidup dari karya tulisnya?
Tidak. Menjadi penyair atau penulis di Korea Selatan hanya sebagai hobi. Mereka tidak dapat hidup dari karya tulisnya.
Jeonghye Choi dan buku puisinya "Instance"


Bagaimana ceritanya Anda diundang berbicara dalam ASEAN Literary Festival?
Saya mendapat telepon dari Korean Literary Translation Institute. Ini lembaga pemerintah. Mereka tanya apakah saya mau ke Jakarta. Saya katakan mau, dan saya diminta segera menyiapkan segala sesuatu, tapi saya tidak punya waktu dan saya ada kelas. Namun saya ingin pergi ke luar negeri, dan mereka memberikan saya uang dan tiket. Ini pertama kali saya ke Jakarta dan Indonesia.

Bagaimana tanggapan Anda tentang sesi diskusi Women and Literary?
Begitu banyak perempuan berkumpul. Mereka tampak antusias. Perempuan Korea itu pekerja berat, tapi tidak suka berkumpul. Mereka individualis. Ini karena ketatnya kompetisi. Meski terkadang berkumpul untuk diskusi, mereka tidak terlembagakan seperti di sini.

MARIA RITA HASUGIAN

No comments: