Wednesday, February 26, 2014

Potret Panjang Penderitaan Etnis Rohingya

Selama delapan tahun fotografer Gregory "Greg" Constantine merekam denyut kehidupan etnis Rohingya dari dua negara, Bangladesh dan Myanmar. Ia memotret berbagai sisi kehidupan orang-orang Rohingya jauh sebelum pecah konflik berdarah pada 2012 lalu. Konflik berdarah yang diotaki warga Budha Myanmar  pada masa transisi pemerintah junta militer ke pemerintahan demokratis itu  membuat Myanmar mendapat sorotan tajam dari masyarakat internasional.  Ia mengkritik pemerintah Myanmar yang menolak mengakui Rohingya bagian dari negara itu. Fotographer otodidak ini meminta para pemimpin ASEAN bersatu mendorong pemerintah Myanmar untuk mengakhiri kekejaman yang diderita etnis Rohingya dan memberikan  hak-hak politik kepada etnis yang dianggap Greg paling menderita di antara etnis-etnis tanpa kewarganegaraan di muka bumi ini  .


Gregory "Greg" Constantine menjelaskan foto-fotonya kepada sejumlah jurnalis saat pameran foto "Exiled to Nowhere Burma's Rohingya di Galeri Cemara 6, Jakarta, Jumat 13 Februari 2014 sore.
Potret pria etnis Rohingya
Foto hitam-putih berukuran 60 x 41 inci memotret seorang pria paruh baya sedang menatap dengan dahi berkerut dan urat menonjol di pelipis kirinya. Mulutnya dikatupkan. Tatapannya tidak sempurna karena satu bola matanya sudah tidak berfungsi akibat siksaan saat menjalani kerja paksa di Myanmar. Ia melarikan diri ke Bangladesh pada pertengahan 1990 dan kini hidup bersama 300 ribu penduduk Rohingya lainnya sebagai pengungsi tanpa dokumen di bagian selatan Bangladesh.

Fotografer jurnalistik asal Amerika Serikat, Gregory “Greg” Constantine, memajang foto itu di urutan pertama dari 37 foto hitam-putih hasil karyanya yang merekam kehidupan tragis etnis Rohingya di Bangladesh dan Myanmar. Semua foto itu dipamerkan di lantai dasar Galeri Cemara 6, Jakarta Pusat, pada 6-16 Februari lalu. Pameran itu diberi judul “Exiled to Nowhere Burma’s Rohingya”.

Greg memilih Indonesia sebagai tempat menggelar pameran foto itu karena negara ini merupakan pemimpin yang berpengaruh di ASEAN (The Association of Southeast Asian Nations) sehingga dapat mendorong Myanmar untuk segera mengakhiri kekerasan dan diskriminasi terhadap etnis Rohingya. Bertepatan pula Myanmar menjadi Ketua ASEAN untuk 2014. “Myanmar perlu mengubah kebijakannya mengenai Rohingya. Penyelesaian terbaik, menurut saya, harus datang dari dalam negara itu,” kata Greg saat berdiskusi dengan sejumlah jurnalis, 14 Februari lalu.

Selama delapan tahun Greg merekam denyut kehidupan etnis Rohingya lewat kameranya. Ini bagian dari rangkaian kerja jangka panjangnya memotret semua etnis yang tidak memiliki status kewarganegaraan dan mengalami berbagai tindak kekerasan. Perjalanannya merekam kehidupan semua etnis bernasib malang itu diberi tajuk Nowhere People.

Karya-karya Greg meraih berbagai penghargaan internasional, di antaranya  UNICEF Photo of the Year in 2006, 2007, 2008; Prix De Laa Photographie Paris; International Photography Award; Osborn Elliot Prize for Journalism on Asia; The 15th Annual Human Rights Press di Hong Kong; SOPA Award for Feature Photography; dan Amnesty International Media Award for Photojournalism.

Tak hanya merekam lewat foto, Greg juga menuangkannya dalam buku. Dua bukunya sudah terbit, yakni Nowhere People Books Series Kenya’s Nubians:Then & Now (2001) dan Exiled to Nowhere: Burma’s Rohingya (Mei 2012).

Greg mengatakan, dari sejumlah etnis tanpa kewarganegaraan yang telah ditemuinya—seperti di Sri Lanka, Malaysia, Bangladesh, Ukraina, Kenya, Pantai Gading, Kuwait, Libanon, dan Republik Dominika—boleh dibilang etnis Rohingya-lah yang paling teraniaya.

Kehidupan seekor burung, tutur Greg, jauh lebih merdeka ketimbang seorang Rohingya. “Burung bebas memilih tempat untuk membuat sarang dan berkembang biak. Etnis Rohingya tak punya tempat untuk hidup di muka bumi ini,” ujarnya.

Menurut Greg, ide memotret kehidupan etnis Rohingya tercetus pada pertengahan 2005, setelah dia menyelesaikan pemotretan kehidupan para pengungsi Korea Utara. Greg memulai perjalanannya dari Bangladesh pada 2006. Dia menemui para pengungsi Rohingya yang lari dari Myanmar lantaran tak sanggup menahan penderitaan dan siksaan selama kerja paksa diberlakukan.

Foto pertamanya memotret situasi di Talk, kamp pengungsi sementara di sisi jalan di luar Kota Teknaf, Bangladesh. Di situ, Greg mengenang, ada satu pohon yang sangat besar dengan akar pohon yang menjuntai. Di sekitar pohon itu berdiri gubuk-gubuk reot tempat etnis Rohingya tinggal. “Tanahnya rawa-rawa diapit Sungai Naf dan jalan raya,” kata Greg. Ia kaget menyaksikan situasi kamp pengungsi seperti itu.

Greg kemudian menyeberang ke Myanmar dan mengunjungi para pengungsi Rohingya di kamp penampungan sementara, yang kondisinya membuat dia kaget hampir tak percaya. Etnis Rohingya dikungkung dalam kamp tanpa diizinkan keluar. “Kehidupan dari hari ke hari semakin buruk,” ujarnya. 
 
Selama blusukan di Bangladesh dan Myanmar, Greg menghadapi berbagai rintangan dan ancaman keselamatan nyawa. Namun hal itu tak membuat Greg surut langkah. Menurut dia, bekerja selama delapan tahun adalah harga yang layak untuk menghasilkan foto-foto yang menggugah empati dunia internasional atas buruknya situasi kemanusiaan sekitar 2 juta penduduk Rohingya, termasuk yang saat ini menjadi pengungsi dan pencari suaka di sejumlah negara.

Di Indonesia, menurut data Suaka—sebuah lembaga swadaya masyarakat untuk perlindungan hak-hak pengungsi—terdapat 1.400 penduduk Rohingya, dengan rincian, 700 orang sebagai pengungsi dan selebihnya sebagai pencari suaka.


MARIA RITA HASUGIAN

 

No comments: